Detail Berita

STUPA CANDI SUMBERAWAN

Candi Sumberawan berada di Dusun Sumberawan, Desa Toyomarto, Kabupaten Malang. Candi merupakan tempat peribadatan masyarakat yang beragama Hindu dan Buddha. Pembentukan Candi di Sumberawan ini disari perintah dari Prabu Hayam Wuruk yang sedang melakukan perjalanan Nawa Tirta, yang dalam perjalanannya melewati Sumberawan yang dulu disebut dengan Kasurangganan sebelum abad 14 masehi silam. Masa itu, Prabu Hayam Wuruk merupakan raja Majapahit yang sangat terkenal bahkan diabadikan dalam sejarah sebagai raja yang sukses dalam mengembangkan kerajaan Majapahit. Daerah sekitar candi dulunya merupakan taman yang indah sehingga tercetuslah nama Kasurangganan untuk penamaan Candi ini. Selain itu Sumberawan sebagai Kasurangganan juga tercantum dalam kitab Negara Kertagama pupuh 35 bait ke IV dan memiliki arti sebagai taman bidadari atau taman surga nimfa (Soekmono dalam Wikantiyoso dan Ramli, 2018).

"Bangunlah sebuah candi peribadatan". Sabda Prabu Hayam Wuruk.

Hal ini tercatat dalam prasasti Muncang yang berisi tentang perintah pembangun Candi peribadatan di tanah ini. Tanah Sumberawan sendiri dijadikan sebagai tanah aperdikan yaitu wilayah yang dibebaskan dari pemungutan pajak sehingga daerah ini bisa memfokuskan untuk membangun candi peribadatan. Keistimewaan Candi ini adalah letaknya yang berdampingan dengan mata air. Konon keberadaan candi dan sumber mata air ini merupakan gambaran dari hubungan manusia dengan Tuhan. Aiir berperan sebagai simbol kehidupan sehingga yang sampai sekarang tempat itu dikeramatkan. Setiap ritual yang diadakan adalah demi keberkahan hidup dan dihubungan dengan air yang merupakan sumber kehidupan. Mata air di Sumberawan ini dianggap sebagai sumber penguripan baik itu dalam konteks spiritual maupun realitasnya di masyarakat.

Pembangunan stupa Sumberawan bertujuan untuk mentransformasikan mata air menjadi tirta amerta. Transformasi ini tidaklah mengubah air namun hanya khasiat di dalamnya yang berubah. Tirta amerta merupakan air suci yang menjadi minuman para dewa. Hal inilah yang menjadi dasar penamaan desa Toyomarto. Toyo memiliki arti air dan merta atau amerta berarti kehidupan. Keyakinan bahwa sumber mata air ini adalah terusan dari gunung Arjuna menguatkan alasan jika sumber mata air Sumberawan memiliki banyak khasiat, karena Gunung Arjuna sendiri banyak digunakan untuk bersemedi, mencari ilmu maupun pemujaan. Selain itu, masyarakat Jawa cenderung percaya jika gunung Arjuna merupakan gunung suci selain gunung Penanggunan, Lawu. Wilis, Kawi, Kemukus, Kelud dan Semeru (Titasari, dkk, dalam Wikantiyoso & Ramli, 2018). Masyarakat desa sendiri meyakini bahwa leluhur mereka banyak yang bertapa di tanah Kasurangganan dan mendapatkan moksya seperti Resi Patmoaji dan Dewi Singowati, yang merupakan saudari putri Ken Dedes. Diyakini juga bahwa mereka penjaga mata air dan candi Sumberawan.

Stupa merupakan simbol Sang Buddha. Puncak Stupa menjadi simbol moksya atau nirwana. Moksya memiliki arti sebagai kebebasan dari ikatan yang bersifat duniawi sedangkan nirwana adalah tempat kebebasan atau bisa disebut sebagai surga. Kubah stupa menyimbolkan dunia materi yang harus dilepaskan untuk mencapai nirwana serta bagian dasar yang berbentuk segi empat adalah lambang dari alam bawah (Patala). Dalam kitab Adiparwa, dikisahkan tentang air amerta yang berada didasar Samudera Ksera atau Samudra Manthana. Untuk mengambil air amerta itu, Samudera Ksera diaduk mengguakan Gunung Mandara (Mandagiri). Candi Sumberawanlah yang merupakan Mandagiri dan mata air digambarkan menjadi Samudra Ksera. Candilah yang dipercaya menjadi kunci untuk mengambil air amerta. Candi sebagai ‘Punden’ sumber air dimaksudkan sebagai penanda tempat kedudukan ruh leluhur yang menjaga sumber air di Kasurangganan. Dahulu Candi ini menjadi tempat peribadatan bagi penganut Buddha namun seiring berjalannya waktu, Candi Kasurangganan ini sering dijadikan tempat ritual dan acara desa serta tempat untuk berdoa. Banyak orang yang datang untuk meminta pemberkatan, kekayaan, kekuasaan dan lainnya. Karena itu, candi ini ramai dikunjungi untuktujuan berwisata maupun spiritual.Candi Buddha direnovasian pada tahun 1925-1938. Ukuran bagian dasar candi 6,25m x 6,25m dan tingginya sekitar 5,23m. Restorasi dilakukan sekitar tahun 1904. Tidak ditemukan maka ataupun abu jenazah, relik maupun arca di dalam kubah stupa maupun sekitarnya.

Berita Lain